Luar biasa memang manusia yang satu ini. Selama ini publik sudah disuguhi fakta betapa hebatnya pembelaan para pejabat, aparatur negara dan penegak hukum kepada Ahog.
KPK sampai rela mengeluarkan pernyataan konyol “tidak ada niat jahat”, meski audit BPK jelas menyatakan ada kerugian negara.
Lalu Menko ‘serba bisa’ Luhut Binsar Panjaitan yang ditemani Kapolda Metro Jaya dan Pangdam Jaya, rela malam-malam bertandang sekejap ke rumah Kyai Ma’ruf Amin hanya gara-gara mulut kasar Ahok lagi-lagi menimbulkan kegaduhan. Masih ingat Ahok Ancam Proses Hukum Ketua MUI KH Ma’ruf Amin yang jadi saksi saat persidangan kasus penistaan agama?
Presiden Jokowi pun rela “memecat” Menko Kemaritiman Rizal Ramli yang baru diangkatnya beberapa bulan, karena Rizal Ramli berani melawan proyek reklamasi. Lalu menggantinya dengan Luhut yang kembali “menghidupkan” proyek reklamasi.
Dari semua ‘legacy’ Ahok, memang reklamasi Teluk Jakarta lah yang paling fenomenal. Tidak pernah dipromosikan sebagai program kampanye, tidak dibanggakan di depan rakyat, tetapi anehnya dibela mati-matian di depan hukum, meski dalam kehidupan sehari-hari diprotes bahkan didemo komunitas nelayan dan pecinta lingkungan.
Bagaimana nasib proyek reklamasi pasca kekalahan ahok dalam pilkada?!
Tentu di ujung tanduk!
Itu sebabnya harus diselamatkan.
Tidak mungkin menyelamatkan proyek reklamasi tanpa menyelamatkan ahok. Penyelamatan ahok adalah langkah pertama dari penyelamatan semua kasus lainnya, termasuk kasus RS Sumber Waras dan pengadaan bus Trans Jakarta.
Maka, meski Ahok sudah kalah telak dalam pilgub, dia tidak boleh menjalani hukuman pidana kurungan badan, yang membuatnya kehilangan peluang untuk menduduki jabatan politik.
Itu sebabnya sidang dengan agenda pembacaan tuntutan kasus penistaan agama ditunda sampai sehari pasca hari pencoblosan, hanya dengan alasan belum selesai mengetik.
Mungkin saja kalau Ahok menang pilgub tuntutannya sudah disiapkan “bebas murni”. Indikasi itu sudah tampak jelas dari pernyataan para penasehat hukum Ahok sepekan sebelum pilkada, ketika sidang pembacaan tuntutan ditunda.
Namun karena ternyata Ahok kalah pilgub, maka dinyatakanlah Ahok terbukti bersalah dan melanggar pasal yang dituduhkan, tetapi tuntutan hukumnya hanyalah 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun. Hakikatnya beda tipis dengan membebaskan Ahok.
Sebab dengan tuntutan itu, Ahok tak perlu menjalani hukuman penjara jika sampai 2 tahun ke depan (tahun 2019) tak mengulangi lagi perbuatannya. Dan karena tuntutannya hanya 1 tahun penjara, Ahok pun tak akan pernah ditahan.
Selama 6 bulan ke depan ahok masih bisa jadi gubernur DKI, mengeluarkan kebijakan, diskresi, atau apapun istilahnya, yang sekiranya akan membuat proyek reklamasi dijamin cukup “aman” dan sulit dibatalkan oleh gubernur penggantinya, tanpa harus melalui prosedur hukum yang berbelit dan konsekwensi yang berat.
Ahok tahu itu, bahwa Anies akan membatalkan proyek reklamasi!
Ini tidak boleh terjadi. Waktu 6 bulan ke depan masih panjang, apapun bisa dilakukan.
Pembayaran RS Sumber Waras saja bisa kok dilakukan malam hari di penghujung tahun, dimana jelas-jelas semua bank sudah tutup operasionalnya di akhir tahun.
Apalagi membuat kebijakan, keputusan, diskresi, cukup waktu 6 bulan untuk “berberes” dan memastikan semua “aman” sepeninggalnya dari balaikota.
Tak cukup hanya itu, Ahok juga tak boleh dibiarkan tidak punya panggung politik sehabis masa jabatannya. Tentu harus dipikirkan bagaimana masa depan karir politik Ahok setelah Oktober nanti.
Jangan khawatir, ada jabatan yang tak perlu lewat kontestasi pemilihan oleh rakyat atau oleh panitia seleksi atau harus lolos fit n proper tes di DPR. Apalagi kalau bukan masuk kabinet! Ya, menjadikan Ahok menteri paling gampang, sebab hanya perlu ditunjuk oleh presiden seorang. Menggunakan hak prerogatifnya, Jokowi bisa saja mengangkat Ahok jadi menteri. Ignatius Jonan dan Archandra Tahar saja bisa kok keluar masuk kabinet hanya dalam hitungan bulan.
Ahok akan didapuk jadi menteri apa? Apa saja mungkin. Tapi rumornya ke arah Mendagri, menteri yang berhubungan langsung dengan para kepala daerah.
Jika itu terjadi, maka sempurnalah sudah kontrol ahok atas kebijakan penggantinya. Sisa waktu 6 bulan bisa dimanfaatkan untuk mempersiapkan instrumen hukum pengaman proyek reklamasi, sementara pasca 6 bulan dia pun akan tetap bisa mengontrol gubernur DKI penggantinya kalau dia jadi Menteri Dalam Negeri.
Atau bisa saja menjadi mentri Kelautan menggantikan ibu Susi, berduet dengan atasannya, Menko Kemaritiman, bahu membahu pasang badan untuk proyek reklamasi.
Selain itu, dengan tetap punya eksistensi di panggung politik, Ahok masih punya peluang untuk maju dalam kancah pilpres 2019, menjadi cawapres Jokowi, misalnya.
Nah, komplit bukan skenarionya??
Siapa bilang Ahok tamat hanya karena kalah pilgub?!
Tidak!!!
Taipan-taipan yang telah menggelontorkan uang trilyunan rupiah dalam proyek reklamasi tentu tak akan tinggal diam.
Selama ini mereka sudah keluar uang banyak. Apa susahnya mengatur agar Ahok tetap leluasa? Tinggal diatur saja tuntutan kepada Ahok dan putusan hukumnya nanti.
Inilah yang harus diwaspadai warga DKI yang menghendaki perubahan atas keputusan dan kebijakan Ahok yang banyak merugikan rakyat.
Satu langkah memang sudah dimenangkan rakyat Jakarta. Mereka sudah “menang” dengan menghukum Ahok dengan cara menolak memilihnya.
Selisih perolehan suara yang cukup signifikan membuat sulit bagi Ahok dan tim nya untuk merekayasa perolehan suara. Mengajukan gugatan sengketa pilkada juga sulit, terbukti Rano Karno saja ditolak gugatannya oleh MK karena selisih suaranya sudah di atas 1%.
Menyelamatkan Ahok dan masa depan politiknya memang tak hanya 1 cara saja.
Yang utama adalah MELEPASKAN AHOK DARI JERATAN HUKUM PIDANA KURUNGAN.
Setelah itu terlaksana, tinggal diatur saja langkah selanjutnya, lebih mudah jika Ahok masih bisa berkuasa.
Jadi, kalau mau melumpuhkan Ahok, menghentikan kebijakannya yang kontroversial dan merugikan rakyat, menelanjangi semua kasus hukum yang melibatkannya, maka satu-satunya cara adalah MENEGAKKAN HUKUM!!!
Tentu tak ada alasan menghukum Ahok jika dia memang tak bermasalah. Tapi faktanya: Ahok adalah TERDAKWA KASUS PENISTAAN AGAMA. Dia diancam hukuman setidaknya 5 tahun. Seperti pelaku penistaan agama lainnya yang ditahan dan dihukum penjara, maka sudah selayaknya jika Ahok pun diperlakukan sama. Bukankah negara kita mengaku sebagai negara hukum yang mendudukkan setiap orang sama dihadapan hukum? Lalu kenapa khusus Ahok selalu ada cara dan celah untuk memberinya privelege agar bebas dari konsekwensi hukum?!
Mohon para penegak hukum berpikir ulang untuk bermain-main dengan hukum hanya demi seorang Ahok.
Kekuatan massa dan bersatunya perasaan rakyat sudah ditunjukkan pada tanggal 19 April 2017, mereka menolak Ahok, mayoritas tidak memilihnya lagi.
Jadi, jika aparat penegak hukum dan para pejabat negara berkomplot hendak menyelamatkan ahok dari jerat hukum, maka hal ini sama dengan memantik amarah rakyat.
Jangan remehkan amarah rakyat yang sudah mengkristal.
Hanya demi seorang Ahok haruskah sebegitu besar pertaruhan yang akan dilakukan para penyelenggara negara dan penegak hukum?!
Ahok bukan pahlawan, jadi tak perlulah kalian jadi pahlawan bagi Ahok.
Ahok sudah terbukti berkali-kali menimbulkan kegaduhan dan masalah karena mulutnya, sikapnya, kekasarannya. Jadi, apa masih ada lagi alasan untuk membelanya?
Sumber : eramuslim.com
0 komentar:
Post a Comment