Bagi saya yang tinggal di Indonesia, bangunan tua itu lebih mirip disebut candi ketimbang masjid. Tumpukan batu bata tak berlapis, teronggok dingin di sebuah taman. Beberapa lelaki terlihat rukuk dan sujud di ruangan yang tak lebih dari 10 x 7 m2 tersebut. Itulah Masjid Gresik, bangunan bersejarah yang terletak di tengah kota Patani. Nama sebenarnya adalah Masjid Sultan Muzaffar Syah. Lebih populer disebut Gresik karena banyak pendatang dari Indonesia. Salah satunya dari Gresik.
Masjid Gresik, Patani Thailand
Inilah masjid yang penuh jejak sejarah pergulatan melawan kebatilan. Delapan kali sudah, masjid ini dibakar tentara Thailand. Peristiwa paling tragis terakhir terjadi pada 2004 silam. Dihujani peluru dari pelbagai penjuru. Termasuk dengan helikopter, hingga 128 orang tewas.
Di masjid itulah, seluruh relawan Road for Peace (R4P) II ini berlabuh.
Untuk berkunjung ke dua wilayah korban kekerasan tentara Thailand, rombongan pun terpisah menjadi dua. Pertama, mengunjungi Kampung Supit Senek, Rusok, Narathiwat. Kedua, menuju Kampung Kedae, Teluk Kapas, Distrik Yesing, Patani, dimana sebuah pondok pesantren telah ditutup karena dituduh melindungi para pemberontak.Dalam rundown yang diterima kiblat.net, Masjid Gresik adalah tujuan terakhir sebelum rombongan bertolak kembali ke Malaysia.
Saya duduk di serambi masjid bersama relawan R4P lainnya untuk acara perpisahan. Bersama kami, ada beberapa kawan-kawan asli Patani. Mereka adalah pegiat HAM yang tergabung dalam beberapa NGO. Yang paling senior di antara mereka bernama Chooya. Pria berumur sekitar 40 tahun itu memberikan kata pelepasan.
Saya masih asyik jeprat-jepret ketika Chooya memberi kata sambutan. Sampai ketika suaranya mulai parau dan intonasinya melirih, saya tertegun menyimak apa yang ia sampaikan. “Terimakasih kepada kakak-kakak sekalian. Orang Patani menganggap orang Indonesia sebagai kakak tertua, dan orang Malaysia sebagai kakak tengah. Pesan kami, tolong jangan lupakan kami… Kalian punya adik bungsu di sini. Kami ini adik bungsu kalian…”
Nadanya memang datar. Tapi sorot matanya yang semula tegak, kini mulai tertunduk. Tangan yang sebelumnya menari-nari mengikuti intonasi, kini tergolek di atas lutut. Jari-jemarinya menggores lantai, seperti hendak mengukir kata hatinya yang terdalam. Hening. Semua perhatian tertuju pada bibir pria berpeci ala songkok Gresik ini.
“Kami adik bungsu kalian!”
Kata-kata yang menusuk nurani siapapun yang masih peduli terhadap nasib dan kehidupan muslimin di Patani ini. Sebuah simbol bahwa mereka masih tetap keukeuh dengan jati diri sebagai bangsa Muslim Melayu. Tak sudi melebur bersama kaum Budhis Siam.
Istilah “adik bungsu” itu laksana ikrar abadi, tentang persaudaraan antara Muslim Patani, Malaysia dan Indonesia. Menjadi lentera bagi siapapun yang meniti tapak-tapak sejarah, tentang sebuah bangsa yang (dipaksa) hilang.
Saya masih terpaku dengan bait-bait terakhir sambutan Chooya, sambil menyandarkan tubuh ke Kholid yang duduk di samping. Kholid-lah, pria asli Patani, yang menemani sekaligus menjadi “penerjemah” kami ketika blusukan ke Narathiwat. Lamunan saya pun buyar oleh sapaan Pak Mustapha Mansoor, ketua rombongan. “Silakan dari Indonesia…. Pak Tony memberikan sambutan,” Sejenak saya berpikir, apa yang dapat saya sampaikan di hadapan orang-orang Patani dengan seabreg problem yang mereka hadapi?
Kholil (baju hijah) bersama kiblat.net
Saya tepuk pundak Kholid. “Akhi… sebentar lagi kami balik ke negeri kami. Mungkin secara fisik kita akan berpisah. Tapi tidak untuk hati. Hati dan pikiran kami tetap bersama kalian…” Saat itu, ada gemuruh yang menggumpal di dada. Tak kuasa membahasakan dengan lisan, saya pun mengakhiri dengan salam. Setelah itu, kembali tenggelam dalam sebuah lamunan, yang begitu rigid untuk diurai. Sementara, mata saya mulai terasa sembab.
Mungkin perasaan yang sama juga dialami Syimir, mahasiswa asal Alor Setar, Malaysia. Ia anak muda. Taksiran saya, usianya belum sampai 23 tahun. Menurut seorang relawan Malaysia lainnya, ia memang “dititipkan” ayahnya dalam misi R4P ini agar berlatih dunia kerelawanan. “Saya belajar sejarah. Tapi saya semakin paham Patani setelah kunjungan ini.” Tampak Syimir mulai tak kuasa menahan air mata yang menganak sungai. “Saya akan berdayakan sekuat kemampuan saya untuk Muslimin Patani.” Kalimat yang masih saya ingat sampai hari ini, yang ia ucapkan sambil sesekali menyeka matanya..
Matahari sore mulai menjelang. Tiba saatnya kami benar-benar harus meninggalkan negeri Patani dengan segudang kisah dan lika-liku di dalamnya. Tentang agama yang terenggut… tentang budaya dan identitas yang tercerabut… juga tentang nasib sebuah bangsa yang tak kunjung jelas kapan kemandirian dan kemerdekaan akan bersambut.
Mesin mobil sudah menderu, semua penumpang sudah berpadu. Jalanan bertebar senyum para pemuda dan pemudi Patani yang terus melambai seiring konvoi yang mulai melaju. Senyum itu seperti sebuah pesan yang kuat agar tak melupakan sebuah negeri yang nelangsa. Sementara, dalam lambaian mereka terekam asa dan doa.
Duduk di kursi belakang Hyundai Matrix biru, saya biarkan jendela terbuka. Meski lambaian putra-putri “adik bungsu” Patani telah hilang ditelan jarak. Sejenak, bebaskan hembusan angin Patani terus masuk menyeruak ke relung-relung jiwa. Mengaduk sejuta rasa dalam nurani, mencipta rima-rima dalam setangkup bait ukhuwah. Jarak, barangkali akan tetap pada tempatnya. Namun, Islam kan terus mempertautkan hati di manapun kita berada.
“Kakak tertua” dan “Kakak tengah” berpose sebelum berpisah.
“Yakinlah kawan, esok ‘kan bertabur asa. Masjidmu ‘kan terus memompakan semangat untuk terus bangkit meraih cita, meski berkali-kali terjerembab. Masjidmu kan mengajari arti sebuah ketegaran. Walau delapan kali dibakar tentara durjana, Masjid Gresik-mu tetap kokoh berdiri meneriakkan lantang sebuah identitas: “Kami adalah Muslim!”
Sumber : kiblat.net
0 komentar:
Post a Comment