Sandra memilih nama Selma ketika memilih memeluk agama Islam. Selma ia ambil dari nama salah satu istri Rasulullah Muhammad Saw. Umi Salamah, yang dikenal sebagai perempuan yang suka menolong siapa saja yang membutuhkan pertolongan.
"Nama itu juga mirip dengan nama asli saya Sandra. Setelah saya mencari tahu tentang nama Sandra, artinya ternyata 'orang yang suka menolong'" ujar Sandra mengawali cerita tentang keislamannya.
Sandra berasal dari keluarga Yahudi. Kedua orangtuanya pindah dari Mannheim, Jerman ke Kanada pada tahun 1957, setelah hidup dalam persembunyian selama masa Perang Dunia II, menghindar dari kejaran pasukan NAZI Jerman.
Di Kanada, kedua orangtuanya berusaha keras untuk beradaptasi dan menjadi "orang Kanada" agar bisa memulai kehidupan baru. Mereka bahkan harus mengubah nama dan menyebunyikan jati diri sebagai Yahudi. Sebuah kehidupan yang cukup berat bagi kedua orang tua Selma.
Tapi Selma menjalaninya dengan lebih mudah. Ia mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya dan tetap terbuka dengan keyakinan yang dianutnya sebagai orang Yahudi. Meski demikian, Selma mengaku selalu merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya, tapi ia tidak tahu itu apa.
Keislaman Cat Stevens
Cat Stevens adalah tokoh yang menginspirasi Selma untuk mencari tahu tentang agama Islam. Saat itu, di era tahun '70-an, Selma masih berusia sekira 13 tahun dan ia mendengar bahwa Cat Stevens--penyanyi rock terkenal pada saat itu--masuk Islam dan namanya kemudian dikenal dengan nama Yusuf Islam.
Selma sangat tertarik dengan berita keislaman Cat Stevens, dan mendorong rasa ingin tahunya tentang agama Islam. Tapi, ketika itu keluarganya selalu berpindah-pindah tempat tinggal, dan kehidupan mereka kebanyakan dihabiskan di kawasan pertanian.
Selma dan keluarganya hidup agak terisolasi, pertanian diurus hanya antar anggota keluarga saja. "Masa remaja saya sangat menantang. Saya bukan hanya jadi seorang yang suka berontak, tapi juga merasa tidak bahagia. Saya tidak betah tinggal di rumah. Sehingga pada usia 17 tahun, saya meninggalkan rumah," ujar Selma.
Tahun 2001, ia mengalami kecelakaan, ditabrak sebuah truk karena sopirnya yang mabuk. Kecelakaan itu membuatnya harus belajar berjalan lagi. Namun, jika ingat peristiwa kecelakaan itu, saat mobilnya ditabrak truk hingga melayang ke udara, Selma sangat ketakutan dan berpikir, "Apakah begini cara saya mati?"
Saat mengalami kecelakaan, selama dalam kondisi yang gamang tentang kehidupannya. Ia benar-benar tidak tahu apa yang ingin dilakukan untuk mengisi kehidupannya.
Tahun 2005, Selma kehilangan ibunya yang meninggal dunia karena penyakit kanker. "Saya katakan, ini adalah titik balik terbesar dalam hidup saya, dan makin menguatkan ketertarikan saya pada Islam," tukas Selma.
Suara Azan di India
Dua minggu setelah ibunya wafat, Selma pergi ke India. Saat itu bertepatan dengan bulan Ramadan. Hari pertama di India, Selma mendengar suara azan berkumandang pada pukul 05.00 pagi. Pertama kali mendengarnya, Selma merasa sangat ketakutan.
"Saya menuju jendela dan berdiri di sana. Tiba-tiba, ada sebuah perasaan yang begitu damai dan bahagia merasuk ke dalam hati saya. Itulah momen saat saya melakukan lompatan, sebuah lompatan iman," ujar Selma.
Ia juga mengungkapkan bahwa hal yang membuatnya tertarik dengan Islam adalah ada beberapa kemiripan antara yudaisme dan Islam. Menurutnya, koneksi antara dua agama itu sangat kuat.
"Anda sedang memulai langkah menuju Islam dengan mendeklarasikan keimanan dan mengucapkan dua kalimat syahadat, bahwa Anda bersaksi tidak ada tuhan selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah," imbuhnya.
Selma mengakui, ia benar-benar canggung ketika harus menceritakan pada semua teman dan anggota keluarganya bahwa ia sudah menjadi seorang muslim. Namun, masa-masa itu akhirnya terlewati dan Selma menjalankan kehidupannya sebagai seorang muslimah.
Berjilbab
Perasaan canggung kembali ia rasakan ketika ia pertama kali mengenakan jilbab. Selama sebulan pertama mengenakan jilbab, Selma benar-benar merasa gugup. Ia berpikir untuk menjadi orang yang lebih baik setelah berjilbab. Selma begitu menjaga perkataan dan sikapnya pada orang lain.
"Saya betul-betul senang mengenakan jilbab. Saya merasa lebih baik dengan mengenakan jilbab. Sekarang, saya bahkan tidak bisa membayangkan jika harus berada di tengah publik tanpa mengenakan jilbab," ujar Selma.
Ia mengungkapkan, kadang heran dengan reaksi negatif banyak orang tentang jilbab. Saya menduga, kebanyakan masyarakat di Amerika Utara menilai perempuan berjilbab sebagai orang yang tertindas. Di sejumlah negara, mungkin anggapan itu benar, tapi tidak di Kanada.
"Kami punya kebebasan untuk memilih, dan saya memilih mengenakan jilbab. Mereka tidak mengerti bahwa jilbab adalah perintah bagi kaum perempuan untuk mengenakannya, seperti yang tertulis dalam Al-Quran," tukas Selma.
Meski demikian, Selma pernah mengalami hal yang tak mengenakkan, yang justru datang dari komunitas Muslim sendiri. Suatu hari, saat Selma sedang dalam perjalanan untuk Salat Jumat, teleponnya berdering. Telepon itu dari seorang muslimah yang sudah dikenalnya. Muslimah itu bertanya apakah Selma masih mengenakan jilbab. Selma menjawab "ya".
Lalu muslimah itu berkata lagi, "Soalnya, semua teman saya bertanya-tanya siapa gadis kulit putih yang berpura-pura jadi seorang muslim."
And she said to me “Well, all my friends are wondering who the white girl is pretending to be a Muslim”
Selma sangat sedih mendengar perkataan itu, karena ia tidak sedang berpura-pura menjadi seorang muslim, tapi karena ia seorang muslim maka ia memilih berjilbab.
"Orang selalu berasumsi, karena saya orang Amerika Utara dan seorang mualaf, saya dianggap cuma sedang berpolitik dengan keislaman saya. Tapi buat saya, dalam hidup ini, saya adalah seorang muslim, dan saya memilih berjilbab, tidak ada bedanya dengan seorang lelaki Yahudi yang mengenakan yarmulke," jelas Selma.
Menurut Selma, ada mitos yang berlaku di tengah masyarakat, jika ada seorang perempuan Amerika Utara yang masuk Islam, secara otomatis mereka dianggap masuk Islam karena alasan pernikahan, karena ia melakukannya demi suaminya.
Tapi asumsi itu tidak berlaku buat Selma yang sudah masuk Islam dan berjilbab sebelum ia bertemu dengan suaminya sekarang, Syaikh Jamal Zahabi, seorang imigran asal Libanon yang datang ke Kanada pada tahun 1980-an dan menjadi imam di sebuah islamic center.
Sumber : eramuslim.com
"Nama itu juga mirip dengan nama asli saya Sandra. Setelah saya mencari tahu tentang nama Sandra, artinya ternyata 'orang yang suka menolong'" ujar Sandra mengawali cerita tentang keislamannya.
Sandra berasal dari keluarga Yahudi. Kedua orangtuanya pindah dari Mannheim, Jerman ke Kanada pada tahun 1957, setelah hidup dalam persembunyian selama masa Perang Dunia II, menghindar dari kejaran pasukan NAZI Jerman.
Di Kanada, kedua orangtuanya berusaha keras untuk beradaptasi dan menjadi "orang Kanada" agar bisa memulai kehidupan baru. Mereka bahkan harus mengubah nama dan menyebunyikan jati diri sebagai Yahudi. Sebuah kehidupan yang cukup berat bagi kedua orang tua Selma.
Tapi Selma menjalaninya dengan lebih mudah. Ia mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya dan tetap terbuka dengan keyakinan yang dianutnya sebagai orang Yahudi. Meski demikian, Selma mengaku selalu merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya, tapi ia tidak tahu itu apa.
Keislaman Cat Stevens
Cat Stevens adalah tokoh yang menginspirasi Selma untuk mencari tahu tentang agama Islam. Saat itu, di era tahun '70-an, Selma masih berusia sekira 13 tahun dan ia mendengar bahwa Cat Stevens--penyanyi rock terkenal pada saat itu--masuk Islam dan namanya kemudian dikenal dengan nama Yusuf Islam.
Selma sangat tertarik dengan berita keislaman Cat Stevens, dan mendorong rasa ingin tahunya tentang agama Islam. Tapi, ketika itu keluarganya selalu berpindah-pindah tempat tinggal, dan kehidupan mereka kebanyakan dihabiskan di kawasan pertanian.
Selma dan keluarganya hidup agak terisolasi, pertanian diurus hanya antar anggota keluarga saja. "Masa remaja saya sangat menantang. Saya bukan hanya jadi seorang yang suka berontak, tapi juga merasa tidak bahagia. Saya tidak betah tinggal di rumah. Sehingga pada usia 17 tahun, saya meninggalkan rumah," ujar Selma.
Tahun 2001, ia mengalami kecelakaan, ditabrak sebuah truk karena sopirnya yang mabuk. Kecelakaan itu membuatnya harus belajar berjalan lagi. Namun, jika ingat peristiwa kecelakaan itu, saat mobilnya ditabrak truk hingga melayang ke udara, Selma sangat ketakutan dan berpikir, "Apakah begini cara saya mati?"
Saat mengalami kecelakaan, selama dalam kondisi yang gamang tentang kehidupannya. Ia benar-benar tidak tahu apa yang ingin dilakukan untuk mengisi kehidupannya.
Tahun 2005, Selma kehilangan ibunya yang meninggal dunia karena penyakit kanker. "Saya katakan, ini adalah titik balik terbesar dalam hidup saya, dan makin menguatkan ketertarikan saya pada Islam," tukas Selma.
Suara Azan di India
Dua minggu setelah ibunya wafat, Selma pergi ke India. Saat itu bertepatan dengan bulan Ramadan. Hari pertama di India, Selma mendengar suara azan berkumandang pada pukul 05.00 pagi. Pertama kali mendengarnya, Selma merasa sangat ketakutan.
"Saya menuju jendela dan berdiri di sana. Tiba-tiba, ada sebuah perasaan yang begitu damai dan bahagia merasuk ke dalam hati saya. Itulah momen saat saya melakukan lompatan, sebuah lompatan iman," ujar Selma.
Ia juga mengungkapkan bahwa hal yang membuatnya tertarik dengan Islam adalah ada beberapa kemiripan antara yudaisme dan Islam. Menurutnya, koneksi antara dua agama itu sangat kuat.
"Anda sedang memulai langkah menuju Islam dengan mendeklarasikan keimanan dan mengucapkan dua kalimat syahadat, bahwa Anda bersaksi tidak ada tuhan selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah," imbuhnya.
Selma mengakui, ia benar-benar canggung ketika harus menceritakan pada semua teman dan anggota keluarganya bahwa ia sudah menjadi seorang muslim. Namun, masa-masa itu akhirnya terlewati dan Selma menjalankan kehidupannya sebagai seorang muslimah.
Berjilbab
Perasaan canggung kembali ia rasakan ketika ia pertama kali mengenakan jilbab. Selama sebulan pertama mengenakan jilbab, Selma benar-benar merasa gugup. Ia berpikir untuk menjadi orang yang lebih baik setelah berjilbab. Selma begitu menjaga perkataan dan sikapnya pada orang lain.
"Saya betul-betul senang mengenakan jilbab. Saya merasa lebih baik dengan mengenakan jilbab. Sekarang, saya bahkan tidak bisa membayangkan jika harus berada di tengah publik tanpa mengenakan jilbab," ujar Selma.
Ia mengungkapkan, kadang heran dengan reaksi negatif banyak orang tentang jilbab. Saya menduga, kebanyakan masyarakat di Amerika Utara menilai perempuan berjilbab sebagai orang yang tertindas. Di sejumlah negara, mungkin anggapan itu benar, tapi tidak di Kanada.
"Kami punya kebebasan untuk memilih, dan saya memilih mengenakan jilbab. Mereka tidak mengerti bahwa jilbab adalah perintah bagi kaum perempuan untuk mengenakannya, seperti yang tertulis dalam Al-Quran," tukas Selma.
Meski demikian, Selma pernah mengalami hal yang tak mengenakkan, yang justru datang dari komunitas Muslim sendiri. Suatu hari, saat Selma sedang dalam perjalanan untuk Salat Jumat, teleponnya berdering. Telepon itu dari seorang muslimah yang sudah dikenalnya. Muslimah itu bertanya apakah Selma masih mengenakan jilbab. Selma menjawab "ya".
Lalu muslimah itu berkata lagi, "Soalnya, semua teman saya bertanya-tanya siapa gadis kulit putih yang berpura-pura jadi seorang muslim."
And she said to me “Well, all my friends are wondering who the white girl is pretending to be a Muslim”
Selma sangat sedih mendengar perkataan itu, karena ia tidak sedang berpura-pura menjadi seorang muslim, tapi karena ia seorang muslim maka ia memilih berjilbab.
"Orang selalu berasumsi, karena saya orang Amerika Utara dan seorang mualaf, saya dianggap cuma sedang berpolitik dengan keislaman saya. Tapi buat saya, dalam hidup ini, saya adalah seorang muslim, dan saya memilih berjilbab, tidak ada bedanya dengan seorang lelaki Yahudi yang mengenakan yarmulke," jelas Selma.
Menurut Selma, ada mitos yang berlaku di tengah masyarakat, jika ada seorang perempuan Amerika Utara yang masuk Islam, secara otomatis mereka dianggap masuk Islam karena alasan pernikahan, karena ia melakukannya demi suaminya.
Tapi asumsi itu tidak berlaku buat Selma yang sudah masuk Islam dan berjilbab sebelum ia bertemu dengan suaminya sekarang, Syaikh Jamal Zahabi, seorang imigran asal Libanon yang datang ke Kanada pada tahun 1980-an dan menjadi imam di sebuah islamic center.
Sumber : eramuslim.com
0 komentar:
Post a Comment