Sampai saat ini, mungkin baru M. Zaini Alif yang melakukan penelitian soal permainan tradisional secara mendalam. Penelitian tersebut dilakukannya untuk menyelesaikan pendidikan mulai tingkat sarjana di Institut Teknologi Nasional dan pascasarjana di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB).
“Sekarang lagi buat penelitian spiritualitas dalam permainan tradisional untuk pendidikan doktoral saya di ITB,” kata Jae, sapaan akrabnya.
Pria kelahiran Subang, 9 Mei 1975 ini memang sudah tertarik dengan mainan sejak masih kecil. Tidak jarang dia dan kawan-kawannya membuat sendiri mainannya. Mulai dari rorodaan yang menyerupai mobil hingga kerkeran — sejenis kipas angin dari batok kelapa dengan baling-baling bambunya.
Suami Mia Rosmiati ini sempat kaget saat mengajukan usulan penelitian soal mainan tradisional. Pembimbingnya meminta dia mengubah objek penelitiannya karena dianggap tidak memiliki referensi atau naskah acuan.
Anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan guru Asid Enu Saputra dan Yuyum Sukaesih ini kemudian berkeliling museum dan perpustakaan. Tujuannya cuma satu, mencari naskah kuno tentang mainan tradisional masyarakat Sunda.
“Bagaimana mungkin mainan tradisional yang begitu banyak dari pendahulu kita tapi tidak ada yang menuliskannya,” kata pendiri Komunitas Hong ini.
Upaya tidak sia-sia. Jae berhasil menemukan naskah abad ke-15 Saweka Darma Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung yang menyebutkan tentang hempul (orang yang mengetahui aturan memainkan, cara membuat, dan filosofi mainan atau permainan).
“Naskah itu menjelaskan bahwa dulu mainan sudah jadi hal penting sehingga ada ahlinya.”
Jae pun semakin tertarik mendalami permainan tradisional. Pelan-pelan dia menyadari mainan bukanlah urusan sepele. Karena justru dari permainan orang bisa belajar bersosialisasi, mengatasi kesepian, mengatur keseimbangan otak, kerjasama, mengenali lingkungan, hingga mengenali dirinya sendiri.
Dia memberi contoh permainan petak umpet. Secara sederhana, permainan itu dapat diartikan sebagai permainan mencari teman. Satu orang pemain menutup matanya dan menghitung hingga sepuluh. Setelah itu dia mencari teman-temannya.
“Kalau ditemukan dia akan berteriak ‘hong!’ Dalam bahasa Sunda, hong itu artinya bertemu. Secara filosofis sama dengan kehidupan manusia yang mencari Tuhan,” kata Jae.
Dalam permainan benteng-bentengan dan gobak sodor, kata Jae, selain memiliki nilai keceriaan yang tinggi, permainan ini juga membantu anak berpikir strategis. Antara lain ketika menolong teman yang berada dalam cengkeraman lawan dan juga membantu tim memenangi pertandingan.
“Dalam permainan ini tentu butuh kerja sama, kekompakan, dan kecerdasan berpikir, tanpa mencederai aturan permainan yang telah disepakati bersama,” tambah dosen mata kuliah Manusia dan Kebudayaan Sunda di Sekolah Tinggi Seni Indonesia ini.
Meski sarat dengan makna, permainan tradisional ini tidak akan berarti tanpa adanya dukungan dari orangtua. Menurut Zaini, anak-anak itu lebih mudah diajarkan dan dikenalkan pada permainan tradisional tanpa harus dimaknai. “Tugas orangtuanya yang membimbing,” ujar dia.
Bicara soal kreativitas, Jae memaparkan, hal itu bisa didapatkan dari pembuatan gogolekan, yaitu boneka dari batang daun singkong. “Bentuknya bisa macam-macam. Ada yang seperti wayang, udang, keris, sampai membuat nenas. Bahan-bahan yang dipakai itu serba alami dari janur,” ujarnya.
Berbagai kelebihan itulah yang membuat Jae makin jatuh cinta dengan permainan tradisional. Lebih-lebih dia menemukan ada banyak permainan tradisional di Indonesia yang serupa dengan negara-negara lain.
“Saya mengutip Stanley Hall, ahli mainan Amerika Serikat yang mengeluarkan Teori Atapus. Teori ini adalah sebuah teori keturunan yang menyatakan kita berasal dari satu keturunan yang sama. Hal seperti ini jadi makin menarik karena kita melihatnya dari mainan dan permainan,” kata Jae.
Sumber : yahoo.com
“Sekarang lagi buat penelitian spiritualitas dalam permainan tradisional untuk pendidikan doktoral saya di ITB,” kata Jae, sapaan akrabnya.
Pria kelahiran Subang, 9 Mei 1975 ini memang sudah tertarik dengan mainan sejak masih kecil. Tidak jarang dia dan kawan-kawannya membuat sendiri mainannya. Mulai dari rorodaan yang menyerupai mobil hingga kerkeran — sejenis kipas angin dari batok kelapa dengan baling-baling bambunya.
Suami Mia Rosmiati ini sempat kaget saat mengajukan usulan penelitian soal mainan tradisional. Pembimbingnya meminta dia mengubah objek penelitiannya karena dianggap tidak memiliki referensi atau naskah acuan.
Anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan guru Asid Enu Saputra dan Yuyum Sukaesih ini kemudian berkeliling museum dan perpustakaan. Tujuannya cuma satu, mencari naskah kuno tentang mainan tradisional masyarakat Sunda.
“Bagaimana mungkin mainan tradisional yang begitu banyak dari pendahulu kita tapi tidak ada yang menuliskannya,” kata pendiri Komunitas Hong ini.
Upaya tidak sia-sia. Jae berhasil menemukan naskah abad ke-15 Saweka Darma Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung yang menyebutkan tentang hempul (orang yang mengetahui aturan memainkan, cara membuat, dan filosofi mainan atau permainan).
“Naskah itu menjelaskan bahwa dulu mainan sudah jadi hal penting sehingga ada ahlinya.”
Jae pun semakin tertarik mendalami permainan tradisional. Pelan-pelan dia menyadari mainan bukanlah urusan sepele. Karena justru dari permainan orang bisa belajar bersosialisasi, mengatasi kesepian, mengatur keseimbangan otak, kerjasama, mengenali lingkungan, hingga mengenali dirinya sendiri.
Dia memberi contoh permainan petak umpet. Secara sederhana, permainan itu dapat diartikan sebagai permainan mencari teman. Satu orang pemain menutup matanya dan menghitung hingga sepuluh. Setelah itu dia mencari teman-temannya.
“Kalau ditemukan dia akan berteriak ‘hong!’ Dalam bahasa Sunda, hong itu artinya bertemu. Secara filosofis sama dengan kehidupan manusia yang mencari Tuhan,” kata Jae.
Dalam permainan benteng-bentengan dan gobak sodor, kata Jae, selain memiliki nilai keceriaan yang tinggi, permainan ini juga membantu anak berpikir strategis. Antara lain ketika menolong teman yang berada dalam cengkeraman lawan dan juga membantu tim memenangi pertandingan.
“Dalam permainan ini tentu butuh kerja sama, kekompakan, dan kecerdasan berpikir, tanpa mencederai aturan permainan yang telah disepakati bersama,” tambah dosen mata kuliah Manusia dan Kebudayaan Sunda di Sekolah Tinggi Seni Indonesia ini.
Meski sarat dengan makna, permainan tradisional ini tidak akan berarti tanpa adanya dukungan dari orangtua. Menurut Zaini, anak-anak itu lebih mudah diajarkan dan dikenalkan pada permainan tradisional tanpa harus dimaknai. “Tugas orangtuanya yang membimbing,” ujar dia.
Bicara soal kreativitas, Jae memaparkan, hal itu bisa didapatkan dari pembuatan gogolekan, yaitu boneka dari batang daun singkong. “Bentuknya bisa macam-macam. Ada yang seperti wayang, udang, keris, sampai membuat nenas. Bahan-bahan yang dipakai itu serba alami dari janur,” ujarnya.
Berbagai kelebihan itulah yang membuat Jae makin jatuh cinta dengan permainan tradisional. Lebih-lebih dia menemukan ada banyak permainan tradisional di Indonesia yang serupa dengan negara-negara lain.
“Saya mengutip Stanley Hall, ahli mainan Amerika Serikat yang mengeluarkan Teori Atapus. Teori ini adalah sebuah teori keturunan yang menyatakan kita berasal dari satu keturunan yang sama. Hal seperti ini jadi makin menarik karena kita melihatnya dari mainan dan permainan,” kata Jae.
Sumber : yahoo.com
0 komentar:
Post a Comment