Pasang iklan di sini Rp. 50.000/bulan

9:22 PM
0
Mengenakan baju koko lengan panjang oranye, bercelana dan berpeci hitam, Ustadz Hidayat Nurwahid turun dari mobilnya. Diiringi oleh sejumlah tim suksesnya, ia disambut dengan shalawat badar. Hari itu, Ahad (10/6/2012), Hidayat telah ditunggu oleh ratusan jamaah Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq, Pesantren Husnayain, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur. Separuh lebih dari jamaah adalah para pendukungnya di wilayah Pasar Rebo.

Hidayat masuk ke dalam Masjid dan disambut ramah oleh pimpinan pesantren, Kiyai Ahmad Cholil Ridwan. Ikut menyambut di samping Kiyai Cholil, Ketua Umum Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKsPPI) KH Mahrus Amin.

Saat didaulat untuk memberikan pengajian, karena acara hari itu memang pengajian rutin bulanan, pertama kali ia menyampaikan permintaan maafnya karena datang terlambat. "Bagaimana mau menjadi Jayakarta kalau hari libur saja macet," kata Hidayat setengah mengeluh karena perjalanannya dari Jakarta Barat  ke Jakarta Timur di hari libur itu ternyata terhalang kemacetan.

Dalam ceramah singkatnya itu, mantan ketua MPR ini bertekad akan mengembalikan Jakarta menjadi seperti Jayakarta dahulu. Bukan mengembalikan namanya dari Jakarta menjadi “Jayakarta” kembali, tetapi ingin menjadikan Jakarta sebagai kota yang "Jayakarta", sebagaimana Fatahilah terilhami dari Surat Al-Fath ayat 1, ‘Inna fatahna laka fathan mubina’ yang artinya ‘Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.’ Dari kata ‘fathan mubina’ itulah nama Jayakarta diambil.

Menurut Hidayat, Jakarta yang Jayakarta adalah Jakarta yang penuh dengan semangat keislaman dan anti penjajahan. Selain itu juga Jakarta yang penduduknya menyerahkan kehambaannya semata kepada Allah Swt. "Kemenangan Fatahilah menyelamatkan kota ini karena menyandarkan kehambaan kepada Allah Swt semata", katanya.

Karena itu, Jakarta yang Jayakarta juga tidak boleh kalah dengan ideologi asing, seperti Kapitalisme dan Sosialisme. Jakarta juga tidak boleh kalah dengan gempuran sindikat narkoba. Secara teknis, Jakarta yang Jayakarta juga Jakarta yang bebas macet dan bebas banjir.

Intinya, "Kita secara maksimal akan menghadirkan ‘kuntum khaira ummah’ (umat terbaik) di DKI Jakarta", katanya dalam pengajian yang diberi judul ‘Solusi Islami Beresin DKI’ itu.

Didukung Alumni Gontor

Sebelumnya, dukungan untuk Hidayat Nurwahid sebagai kandidat Gubernur DKI Jakarta telah disampaikan Ketua Umum BKsPPI KH Mahrus Amin. Kiyai Mahrus yang juga pengasuh Pesantren Darunnajah itu tegas mengajak warga Jakarta untuk memilih pemimpin yang bertakwa. "Dari calon-calon yang ada, tentu kita tahu. Kita bisa melihat siapa yang bertakwa," kata Kiyai Mahrus.

Alumni Pesantren Darussalam, Gontor, Jawa Timur itu juga menjelaskan, termasuk adalah kesalahan jika umat Islam memilih pemimpin yang tidak bertakwa, sementara  ada calon pemimpin yang lebih jelas ketakwaannya.

Kiyai Mahrus juga tak segan memuji Hidayat Nurwahid. "Dari kecil di Gontor, kemudian ke Madinah. Secara kepemimpinan, tak perlu diragukan lagi," katanya.

Sementara Kiyai Cholil Ridwan mengajak penduduk Jakarta yang beragama Islam untuk mempertahankan Jakarta sebagai kota Islam. “Ini hasil waris Fatahilah. Betawi tidak identik dengan preman, tapi identik dengan Islam,” kata salah satu Ketua MUI Pusat itu.

Karena itu ia mengharap agar Hidayat Nurwahid mampu untuk merealisasikan cita-cita menjadikan Jakarta sebagai kota yang Islami. “Saudara kita Hidayat, yang tak perlu lagi diragukan keIslamannya, wajib dia mengantar Jakarta menjadi kota Islami”, katanya.

Islami, Cerdas dan Santun

Hidayat Nurwahid dilahirkan pada 8 April 1960 M, bertepatan dengan 9 Syawal 1379 Hijriyah. Ia lahir di Dusun Kadipaten Lor, Desa Kebon Dalem Kidul, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah. Hidayat berasal dari keluarga pemuka agama. Kakeknya dari pihak ibu adalah tokoh Muhammadiyah di Prambanan, sementara ayahnya H. Muhammad Syukri, meskipun berlatar Nahdhatul Ulama, juga merupakan pengurus Muhammadiyah. Ny. Siti Rahayu, ibunda Hidayat, adalah aktivis Aisyiyah, organisasi kewanitaan Muhammadiyah.

Hidayat adalah sulung dari tujuh bersaudara. Nama Hidayat Nurwahid sendiri adalah pemberian ayahnya yang mengharapkan agar anak sulung ini kelak menjadi petunjuk dan cahaya nomor satu. Ibundanya bersyukur karena menilai Hidayat Nurwahid bisa menjadi petunjuk dan cahaya bagi adik-adiknya.

Keluarga Hidayat adalah keluarga guru. Ayahnya adalah Sarjana Muda alumni Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Yogyakarta, yang mengawali karir mengajar dengan menjadi guru di SD, SMP, hingga akhirnya menjadi Kepala Sekolah di STM Prambanan. Sedangkan ibunya sendiri berhenti mengajar sebagai guru TK ketika anak keduanya lahir.

Usai lulus Sekolah Dasar, Hidayat melanjutkan pendidikan ke Pondok Pesantren Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Sebagaimana diketahui Pesantren Gontor menerapkan semboyan “berpikir bebas selain berbudi tinggi, berbadan sehat, dan berpengetahuan luas.” Semboyan ini tampak pada kehidupan Hidayat hingga beranjak dewasa sampai kini yang menyukai buku, olahraga, dan mengutamakan etika moral dalam berpolitik dan juga dalam kehidupan sehari-hari.

Sebelum masuk Pondok Modern Gontor, Hidayat juga sempat mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Ngabar, Ponorogo. Sebuah pesantren yang didirikan oleh salah seorang alumni Gontor. Kecerdasannya terus terasah di pesantren Gontor ini.

Selepas dari Gontor tahun 1978, Hidayat sebetulnya berkeinginan untuk kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, rupanya ia terkesan pada jasa seorang mantri di PKU Muhammadiyah yang banyak memberikan manfaat bagi masyarakat sekitarnya. Namun akhirnya ia mendaftar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga. Di kampus ini Hidayat sempat mengikuti Training Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Setahun kemudian, berkat kecerdasannya ia diterima studi di Universitas Islam Madinah dengan program beasiswa. Karena idealismenya, sewaktu menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia di Madinah, Hidayat pernah berurusan dengan KBRI karena mempersoalkan Asas Tunggal dan Penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).

Hidayat menyelesaikan program S-1 dengan predikat cumlaude pada tahun 1983 dengan judul skripsi Mauqîf al-Yahud min Islam al-Ansar. Selesai S-1, awalnya ia tidak berpikir untuk melanjutkan S-2, hingga ia mendapatkan kabar bahwa namanya tercantum dalam nominasi untuk mengikuti ujian S-2. Pada hari terakhir ujian itulah Hidayat mengikuti tes dan akhirnya lulus. Hidayat menamatkan program S-2 pada tahun 1987, dengan tesis berjudul al-Batiniyyun fî Indonesia, Ard wa Dirasah.

Selepas S-2 sebetulnya Hidayat sudah ingin kembali ke tanah air, namun kemudian ia melanjutkan pendidikan hingga jenjang S-3 atas desakan salah seorang dosennya. Pada 1992, Hidayatmenamatkan studi S-3 dengan judul disertasi Nawayid li al-Rawafid li al-Barzanjî, Tahqîq wa Dirasah.

Setelah ditinggal oleh istrinya, Kastrian Indriawati yang wafat pada 22 Januari 1998, Hidayat menikah lagi melalui proses ta’aruf, dengan Diana Abbas Thalib, seorang dokter dan Direktur Rumah Sakit Ibu dan Anak Bunda Aliyah, Pondok Indah, Jakarta.

Dalam kancah perpolitikan negeri ini, nama Hidayat mulai dikenal masyarakat luas setelah ia menjabat Presiden Partai Keadilan (PK), yang kemudian menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Karirnya semakin menanjak ketika pada 2004 terpilih menjadi Ketua MPR. Selepas jadi Ketua MPR, pada periode 2009-2014 Hidayat terpilih menjadi Ketua Badan Kerjasama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI.

Sebelum menjadi poltisi, Hidayat adalah seorang pengajar (akademisi) di berbagai kampus di Jakarta. Seperti di UIN Ciputat, Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Universitas As-Syafi’iyah. Ia mengajar di program pasca sarjana. Hidayat mengaku menjalani hidup mengalir begitu saja dengan penuh tawakal. “Dan alhamdulillah, hidup saya berjalan dengan lancar,” kata ayah dari enam orang anak ini.

Usul Masjid di Sekretariat PBB

Di kancah internasional Hidayat juga aktif ambil bagian. Barangkali tak banyak yang tahu, bahwa Hidayatlah orang yang mengusulkan agar di Sekretariat Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dibangun sebuah tempat untuk beribadah umat Islam. Ini terjadi pada awal tahun 2010 lalu. Ketika itu PBB berencana merenovasi markasnya.

Sebagai Ketua Badan Kerjasama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI, Hidayat Nurwahid, memanfaat momentum itu mengajukan usul pembangunan fasilitas ruang khusus yang dijadikan tempat beribadah.

''Selama ini, ruang yang dijadikan tempat salat, juga untuk Jumatan saja berada dalam gudang menyimpang mesin ketik bekas, dan barang rongsokan lain. Kotor, jorok dan bau apeg,'' tutur Hidayat.

Usul Indonesia membangun tempat ibadah, menurut Hidayat, bukan berarti PBB harus membangun masjid secara khusus. Tapi, di sana mesti dibangun tempat khusus, yang suci, yang bisa dimanfaatkan oleh semua orang menjalankan ibadahnya masing-masing. Jadi, ruang tersebut multifungsi.

Hidayat Nurwahid mengajukan usulan ini dikandung maksud, agar bagaimana orang melakukan ibadah - sesuai keyakinan masing-masing -- dengan enak, khusyu’ dan tenang. Tempat ini semacam praying room. Seperti, di setiap bandar udara. Ada ruang terbuka, dimana orang bisa melakukan sesuatu dengan nyaman. Yang penting, tempat itu bersih, suci.  ''Orang bisa melakukan ibadah dengan serius. Sehingga buah dari ibadah itu bisa menghasilkan pikiran, putusan apapun yang terbaik, bermanfaat bagi semua orang,'' tambahnya.

Sumber : sabili.co.id

0 komentar:

Post a Comment