Akibat kesalahan distribusi dan pemberitaan yang tendensius Penulis FLP dirugikan
Di suatu pagi, beberapa hari yang lalu, ketika memasuki tempat kerja, saya dihadang oleh Asri Istiqomah, ketua FLP Solo Raya. Dengan wajah tegang, ia berkata, “Mbak, ada kasus!” ujarnya. “Buku mbak Jazim dan mas Galang ditarik dari perpustakaan SD di Kebumen.”
Sebagai anggota Forum Lingkar Pena, kami tentu mengenal kedua nama yang disebut oleh Asri. Jazimah Al-Muhyi, dan Galang Lufityanto. Mereka adalah salah dua dari ribuan anggota FLP, dan termasuk anggota yang cukup produktif .
“Mengapa ditarik?” tanyaku, heran.
Bukannya menjawab pertanyaan saya, Asri justru menarik tangan saya dan membawa saya ke depan layar komputer. Ia menunjuk sebuah link dari sebuah surat kabar online. Kami membaca berita yang terpampang di sana dengan kening berkerut. Buku Jazimah Al-Muhyi, Ada Duka Di Wibeng, dan buku Galang Lufityanto, Tidak Hilang Sebuah Nama, dinilai meresahkan, karena dituding sebagai buku porno.
Selain dua buku tersebut, ada dua buku yang lain, yakni Tambelo: Kembalinya Si Burung Camar dan Tambelo: Meniti Hari di Ottawa keduanya ditulis oleh Redhite K. Berselang beberapa hari kemudian, ternyata buku yang dikategorikan ‘porno’ yang beredar di perpustakaan SD, bertambah lagi, yakni Syahid Samurai (penulis: Afifah Afra, saya sendiri), Festival Syahadah (penulis: Izzatul Jannah), dan Sabuk Kiai (penulis: Dadang A. Dahlan). Jadi, ada 7 buku ‘porno’ (ada media yang menulis cabul, juga tak senonoh) ditemukan di rak-rak buku SD. Seperti hampir kebetulan, ketujuh buku tersebut ternyata diterbitkan oleh penerbit yang sama, yakni PT Era Adicitra Intermedia. Dan, ‘kebetulan’ itu kian menjadi-jadi, karena 4 dari 7 buku tersebut, ternyata ditulis oleh anggota Forum Lingkar Pena! Jangan tuduh saya suka mencari-cari kebetulan, karena dari 4 anggota FLP tersebut, salah satu adalah ketua umumnya, Intan Savitri alias Izzatul Jannah.
Kasus ini akhirnya memang menyeruak, karena begitu banyak media, baik online, cetak, radio maupun televisi yang dengan gencar memwartakannya. Berikut ini adalah petikan dari beberapa media:
Novel Ada Duka di Wibeng sarat muatan seksual yang tak layak dibaca murid SD, pada beberapa bagian, tertulis dalam novel tersebut, anjuran untuk melakukan hubungan seksual yang aman alias tidak hamil, dan membenarkan hubungan seksual siswa SMP dengan asas suka sama suka. Sedangkan novel Syahid Samurai, novel tersebut dianggap penghancur moral anak-anak dengan menyajikan cerita berbau seksual dengan wanita kedua. (Republika Jabar, 12 Juni 2012).
Contohnya, cerita dalam buku Ada Duka di Wibeng. Secara vulgar buku karya Jazimah Al Muhyi, itu mengumbar cerita tentang seks bebas. Tidak hanya itu. Buku ini juga mengajarkan cara orang berhubungan intim yang aman dari kemungkinan kehamilan. (http://banjarmasin.tribunnews.com/2012/06/09/proyek-porno-disdik).
Betulkah Itu Buku Lucah?
Jika memang buku-buku tersebut memang seperti yang diberitakan oleh media, tentu kiamat memang telah terjadi di perpustakaan SD. Bagaimana mungkin generasi muda kita akan tumbuh menjadi generasi berkarakter, jika dalam usia sedini itu telah dijejali oleh bacaan-bacaan lucah (porno)? Dan, betapa kejamnya saya, karena menjadi bagian dari penghancur moral anak bangsa!
Tetapi, tunggu dulu! Betulkah ketujuh buku tersebut buku lucah?
Secara kualitas, buku tersebut telah lolos penilaian dari Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Mungkinkah buku-buku lucah bisa lolos dari penilaian? Itu jika standar kelayak-bacaan buku-buku tersebut dinilai dari kacamata para pakar.
Dari kacamata saya pribadi, saya juga tak menemukan kelucahan pada buku-buku tersebut, khususnya 4 dari 7 buku tersebut yang memang telah saya baca, yakni Ada Duka Di Wibeng, Festival Syahadah, Tidak Hilang Sebuah Nama, serta Syahid Samurai (ini bahkan saya tulis sendiri).
Pada Novel “Ada Duka di Wibeng”, misalnya, novel yang disebut-sebut ‘sarat muatan seksual’, adalah sebuah novel yang menceritakan seorang tokoh bernama Akta, yang bersekolah di SMA Widya Bangsa, yang dipelesetkan menjadi Wibeng. Wibeng adalah gudangnya remaja bermasalah. Dan Akta, diceritakan memiliki keinginan untuk memperbaiki situasi tak kondusif yang terjadi di sekolahnya. Sebuah pesan dakwah yang mulia. Betulkah novel ini ‘sarat muatan seksual?’ Ketika membolak-balik novel ini, ternyata kalimat yang ‘mencurigakan’ itu terdapat ‘hanya’ di satu tempat, yakni di bab dengan judul “Asal Mau Asal Mau?”
"Pokoknya, asal mau sama mau, gak masalah, kok."
Akta menegakkan telinga.
"Eh, tapi harus tahu trik-trik jitunya. Jangan sampai hamil, juga kena penyakit kelamin. Gawat kan kalau sampai kena gituan."
"Eh, ini nih... ada cara praktis yang manjur. Udah banyak yang ngebuktiin!"
"Mana ... mana?"
"Eh, katanya sperma itu..."
"Nah, di majalah ini dikatakan, sel telur itu kalau ketemu ama sperma...."
"Eh, ada yang asyik punya, nih. Petunjuk dengan pakai KB kalender!"
Akta berlalu dengan cepat mendengar obrolan di lokasi kamar mandi yang diselingi suara cekikikan. Suara-suara perempuan. Akta merasa sangat risi. Kok bisa sih, mereka tidak malu membicarakan masalah semacam itu?
Apakah petikan kalimat tersebut, yang sangat wajar terjadi di pergaulan para remaja saat ini (yang sangat parah!), merupakan sebuah petikan yang menggambarkan sebuah adegan lucah? Apakah terdapat bagaimana cara berhubungan badan secara aman? Adakah adegan vulgar yang menjurus pada seksualitas di sana?
Silakan Anda nilai sendiri.
Dan apakah dari petikan tersebut, Jazimah Al-Muhyi, lewat tokoh dalam cerita tersebut, menganjurkan agar para remaja melakukan hubungan seks, yang penting ‘aman’ dan ‘mau sama mau?’ Saya justru melihat, bahwa Jazimah, melalui tokoh Akta, bahkan mengekspresikan ketidaksetujuan terhadap seks bebas yang saat ini banyak melanda para remaja.
Dan, betulkah bahwa Novel Syahid Samurai yang saya tulis dengan merupakan novel ‘jorok’ yang merusak moral anak-anak karena di dalam novel tersebut diceritakan hubungan seksual dengan wanita kedua?
Pada Syahid Samurai dikisahkan tentang suami istri bernama Mahmud dan Johana yang berpisah bertahun-tahun karena perang. Johana mengira Mahmud telah meninggal, sementara Mahmud pun kehilangan jejak istrinya itu. Dalam kesendirian, akhirnya Mahmud menikah lagi dengan Hanifah, puteri seorang ulama. Mereka berdua pun mengelola sebuah pesantren. Sampai akhirnya Allah mentakdirkan Mahmud bertemu dengan Johana yang telah menjadi muslimah dalam keadaan miskin dan terlunta-lunta. Hanifah pun menganjurkan Mahmud agar menikahi Johana. Merkea menjadi madu yang saling berhubungan baik.
Apa yang salah dari kisah semacam itu, yang bahkan dipraktikkan oleh Rasulullah. Apakah ada adegan lucah disana? Sama sekali tidak ada. Bahkan kemesraan yang lebih dari sekadar berpegangan tangan, yang mungkin wajar bagi suami-istri pun, sama sekali tak didapatkan.
Demikian juga dengan novel Tidak Hilang Sebuah Nama, maupun Festival Syahadah. Batas-batas kewajaran sebuah novel masih terpelihara. Apalagi, penulis-penulis tersebut, selama ini dikenal sebagai sosok-sosok aktivis dakwah yang berjuang lewat tulisan. Mereka bahkan termasuk anggota-anggota senior Forum Lingkar Pena, sebuah organisasi pengkaderan penulis yang memiliki visi menghasilkan karya-karya yang mencerahkan.
Karut Marut Distribusi Buku DAK
Pasalnya, novel-novel tersebut ditemukan di rak perpustakaan SD. Inilah permasalahannya. Para penulis ini, menulis novel-novel tersebut, untuk segmen tertentu. Dilihat sekilas saja dari fisik buku, mulai dari judul, cover, ilustrasi dan juga sinopsis, sebenarnya telah terlihat segmen novel tersebut. Dan, jika novel ini sempat melewati proses penilaian dari Puskurbuk, tentunya Puskurbuk tahu, bahwa novel-novel ini tidaklah ditujukan untuk anak-anak. Ada Duka di Wibeng, adalah novel remaja. Sementara, tiga yang lain, bahkan novel untuk dewasa.
Seaman apapun sebuah novel remaja/dewasa, tentu akan bertentangan dengan logika berpikir anak-anak. Bagaimana novel ini bisa sampai ke perpustakaan SD, inilah yang kami sebagai penulis sama sekali tak mengerti. Kami hanya tahu, bahwa ketika sebuah naskah telah lolos penilaian dari puskurbuk, berarti buku tersebut layak dijadikan referensi. Jika lewat Dana Alokasi Khusus (DAK) 2010 (sebagaimana tertera di sampul buku tersebut), ternyata justru didistribusikan ke perpustakaan SD, pastilah ada kesalahan di dalam sistem distribusi DAK.
Dan, inilah yang semestinya menjadi perhatian kita semua. Sayangnya, alih-alih mencecar karut-marutnya distribusi buku DAK, kebanyakan media justru secara tendensius ‘menghakimi’ konten buku yang sebenarnya telah dinyatakan layak oleh Puskurbuk. Kata novel porno, novel cabul atau novel tak senonoh yang banyak dipakai oleh media tentu kami tolak, karena novel kami sesungguhnya tak cabul. SK dari Puskurbuk menjadi penjaminnya. Novel kami hanya bukan novel anak-anak.
Selain itu, media juga terkesan malas melakukan konfirmasi. Baik saya, maupun penulis yang lain, merasa tak pernah dihubungi oleh media apapun. Mereka terkesan mengambil mentah-mentah pernyataan dari sumber berita, yang sepertinya (kami sinyalir) bahkan belum membaca buku-buku kami.
Untuk itu, kami, para penulis, menuntut agar distribusi buku, khususnya yang dilewatkan Proyek DAK, segera dibenahi. Jika masih karut-marut seperti sekarang ini, novel-novel dewasa dimasukkan ke perpustakaan untuk anak-anak, saya yakin, semua penulis novel dewasa akan dicap sebagai penulis porno, dan hampir semua buku akan dicap ‘buku cabul.’ Dan, tunggu saja berita dari media: “Hujan Buku Cabul di Perpus SD!”
Wallahu a’lam.
Oleh Afifah Afra (Penulis Novel Syahid Samurai)
Sumber : Sabili.co.id
Di suatu pagi, beberapa hari yang lalu, ketika memasuki tempat kerja, saya dihadang oleh Asri Istiqomah, ketua FLP Solo Raya. Dengan wajah tegang, ia berkata, “Mbak, ada kasus!” ujarnya. “Buku mbak Jazim dan mas Galang ditarik dari perpustakaan SD di Kebumen.”
Sebagai anggota Forum Lingkar Pena, kami tentu mengenal kedua nama yang disebut oleh Asri. Jazimah Al-Muhyi, dan Galang Lufityanto. Mereka adalah salah dua dari ribuan anggota FLP, dan termasuk anggota yang cukup produktif .
“Mengapa ditarik?” tanyaku, heran.
Bukannya menjawab pertanyaan saya, Asri justru menarik tangan saya dan membawa saya ke depan layar komputer. Ia menunjuk sebuah link dari sebuah surat kabar online. Kami membaca berita yang terpampang di sana dengan kening berkerut. Buku Jazimah Al-Muhyi, Ada Duka Di Wibeng, dan buku Galang Lufityanto, Tidak Hilang Sebuah Nama, dinilai meresahkan, karena dituding sebagai buku porno.
Selain dua buku tersebut, ada dua buku yang lain, yakni Tambelo: Kembalinya Si Burung Camar dan Tambelo: Meniti Hari di Ottawa keduanya ditulis oleh Redhite K. Berselang beberapa hari kemudian, ternyata buku yang dikategorikan ‘porno’ yang beredar di perpustakaan SD, bertambah lagi, yakni Syahid Samurai (penulis: Afifah Afra, saya sendiri), Festival Syahadah (penulis: Izzatul Jannah), dan Sabuk Kiai (penulis: Dadang A. Dahlan). Jadi, ada 7 buku ‘porno’ (ada media yang menulis cabul, juga tak senonoh) ditemukan di rak-rak buku SD. Seperti hampir kebetulan, ketujuh buku tersebut ternyata diterbitkan oleh penerbit yang sama, yakni PT Era Adicitra Intermedia. Dan, ‘kebetulan’ itu kian menjadi-jadi, karena 4 dari 7 buku tersebut, ternyata ditulis oleh anggota Forum Lingkar Pena! Jangan tuduh saya suka mencari-cari kebetulan, karena dari 4 anggota FLP tersebut, salah satu adalah ketua umumnya, Intan Savitri alias Izzatul Jannah.
Kasus ini akhirnya memang menyeruak, karena begitu banyak media, baik online, cetak, radio maupun televisi yang dengan gencar memwartakannya. Berikut ini adalah petikan dari beberapa media:
Novel Ada Duka di Wibeng sarat muatan seksual yang tak layak dibaca murid SD, pada beberapa bagian, tertulis dalam novel tersebut, anjuran untuk melakukan hubungan seksual yang aman alias tidak hamil, dan membenarkan hubungan seksual siswa SMP dengan asas suka sama suka. Sedangkan novel Syahid Samurai, novel tersebut dianggap penghancur moral anak-anak dengan menyajikan cerita berbau seksual dengan wanita kedua. (Republika Jabar, 12 Juni 2012).
Contohnya, cerita dalam buku Ada Duka di Wibeng. Secara vulgar buku karya Jazimah Al Muhyi, itu mengumbar cerita tentang seks bebas. Tidak hanya itu. Buku ini juga mengajarkan cara orang berhubungan intim yang aman dari kemungkinan kehamilan. (http://banjarmasin.tribunnews.com/2012/06/09/proyek-porno-disdik).
Betulkah Itu Buku Lucah?
Jika memang buku-buku tersebut memang seperti yang diberitakan oleh media, tentu kiamat memang telah terjadi di perpustakaan SD. Bagaimana mungkin generasi muda kita akan tumbuh menjadi generasi berkarakter, jika dalam usia sedini itu telah dijejali oleh bacaan-bacaan lucah (porno)? Dan, betapa kejamnya saya, karena menjadi bagian dari penghancur moral anak bangsa!
Tetapi, tunggu dulu! Betulkah ketujuh buku tersebut buku lucah?
Secara kualitas, buku tersebut telah lolos penilaian dari Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Mungkinkah buku-buku lucah bisa lolos dari penilaian? Itu jika standar kelayak-bacaan buku-buku tersebut dinilai dari kacamata para pakar.
Dari kacamata saya pribadi, saya juga tak menemukan kelucahan pada buku-buku tersebut, khususnya 4 dari 7 buku tersebut yang memang telah saya baca, yakni Ada Duka Di Wibeng, Festival Syahadah, Tidak Hilang Sebuah Nama, serta Syahid Samurai (ini bahkan saya tulis sendiri).
Pada Novel “Ada Duka di Wibeng”, misalnya, novel yang disebut-sebut ‘sarat muatan seksual’, adalah sebuah novel yang menceritakan seorang tokoh bernama Akta, yang bersekolah di SMA Widya Bangsa, yang dipelesetkan menjadi Wibeng. Wibeng adalah gudangnya remaja bermasalah. Dan Akta, diceritakan memiliki keinginan untuk memperbaiki situasi tak kondusif yang terjadi di sekolahnya. Sebuah pesan dakwah yang mulia. Betulkah novel ini ‘sarat muatan seksual?’ Ketika membolak-balik novel ini, ternyata kalimat yang ‘mencurigakan’ itu terdapat ‘hanya’ di satu tempat, yakni di bab dengan judul “Asal Mau Asal Mau?”
"Pokoknya, asal mau sama mau, gak masalah, kok."
Akta menegakkan telinga.
"Eh, tapi harus tahu trik-trik jitunya. Jangan sampai hamil, juga kena penyakit kelamin. Gawat kan kalau sampai kena gituan."
"Eh, ini nih... ada cara praktis yang manjur. Udah banyak yang ngebuktiin!"
"Mana ... mana?"
"Eh, katanya sperma itu..."
"Nah, di majalah ini dikatakan, sel telur itu kalau ketemu ama sperma...."
"Eh, ada yang asyik punya, nih. Petunjuk dengan pakai KB kalender!"
Akta berlalu dengan cepat mendengar obrolan di lokasi kamar mandi yang diselingi suara cekikikan. Suara-suara perempuan. Akta merasa sangat risi. Kok bisa sih, mereka tidak malu membicarakan masalah semacam itu?
Apakah petikan kalimat tersebut, yang sangat wajar terjadi di pergaulan para remaja saat ini (yang sangat parah!), merupakan sebuah petikan yang menggambarkan sebuah adegan lucah? Apakah terdapat bagaimana cara berhubungan badan secara aman? Adakah adegan vulgar yang menjurus pada seksualitas di sana?
Silakan Anda nilai sendiri.
Dan apakah dari petikan tersebut, Jazimah Al-Muhyi, lewat tokoh dalam cerita tersebut, menganjurkan agar para remaja melakukan hubungan seks, yang penting ‘aman’ dan ‘mau sama mau?’ Saya justru melihat, bahwa Jazimah, melalui tokoh Akta, bahkan mengekspresikan ketidaksetujuan terhadap seks bebas yang saat ini banyak melanda para remaja.
Dan, betulkah bahwa Novel Syahid Samurai yang saya tulis dengan merupakan novel ‘jorok’ yang merusak moral anak-anak karena di dalam novel tersebut diceritakan hubungan seksual dengan wanita kedua?
Pada Syahid Samurai dikisahkan tentang suami istri bernama Mahmud dan Johana yang berpisah bertahun-tahun karena perang. Johana mengira Mahmud telah meninggal, sementara Mahmud pun kehilangan jejak istrinya itu. Dalam kesendirian, akhirnya Mahmud menikah lagi dengan Hanifah, puteri seorang ulama. Mereka berdua pun mengelola sebuah pesantren. Sampai akhirnya Allah mentakdirkan Mahmud bertemu dengan Johana yang telah menjadi muslimah dalam keadaan miskin dan terlunta-lunta. Hanifah pun menganjurkan Mahmud agar menikahi Johana. Merkea menjadi madu yang saling berhubungan baik.
Apa yang salah dari kisah semacam itu, yang bahkan dipraktikkan oleh Rasulullah. Apakah ada adegan lucah disana? Sama sekali tidak ada. Bahkan kemesraan yang lebih dari sekadar berpegangan tangan, yang mungkin wajar bagi suami-istri pun, sama sekali tak didapatkan.
Demikian juga dengan novel Tidak Hilang Sebuah Nama, maupun Festival Syahadah. Batas-batas kewajaran sebuah novel masih terpelihara. Apalagi, penulis-penulis tersebut, selama ini dikenal sebagai sosok-sosok aktivis dakwah yang berjuang lewat tulisan. Mereka bahkan termasuk anggota-anggota senior Forum Lingkar Pena, sebuah organisasi pengkaderan penulis yang memiliki visi menghasilkan karya-karya yang mencerahkan.
Karut Marut Distribusi Buku DAK
Pasalnya, novel-novel tersebut ditemukan di rak perpustakaan SD. Inilah permasalahannya. Para penulis ini, menulis novel-novel tersebut, untuk segmen tertentu. Dilihat sekilas saja dari fisik buku, mulai dari judul, cover, ilustrasi dan juga sinopsis, sebenarnya telah terlihat segmen novel tersebut. Dan, jika novel ini sempat melewati proses penilaian dari Puskurbuk, tentunya Puskurbuk tahu, bahwa novel-novel ini tidaklah ditujukan untuk anak-anak. Ada Duka di Wibeng, adalah novel remaja. Sementara, tiga yang lain, bahkan novel untuk dewasa.
Seaman apapun sebuah novel remaja/dewasa, tentu akan bertentangan dengan logika berpikir anak-anak. Bagaimana novel ini bisa sampai ke perpustakaan SD, inilah yang kami sebagai penulis sama sekali tak mengerti. Kami hanya tahu, bahwa ketika sebuah naskah telah lolos penilaian dari puskurbuk, berarti buku tersebut layak dijadikan referensi. Jika lewat Dana Alokasi Khusus (DAK) 2010 (sebagaimana tertera di sampul buku tersebut), ternyata justru didistribusikan ke perpustakaan SD, pastilah ada kesalahan di dalam sistem distribusi DAK.
Dan, inilah yang semestinya menjadi perhatian kita semua. Sayangnya, alih-alih mencecar karut-marutnya distribusi buku DAK, kebanyakan media justru secara tendensius ‘menghakimi’ konten buku yang sebenarnya telah dinyatakan layak oleh Puskurbuk. Kata novel porno, novel cabul atau novel tak senonoh yang banyak dipakai oleh media tentu kami tolak, karena novel kami sesungguhnya tak cabul. SK dari Puskurbuk menjadi penjaminnya. Novel kami hanya bukan novel anak-anak.
Selain itu, media juga terkesan malas melakukan konfirmasi. Baik saya, maupun penulis yang lain, merasa tak pernah dihubungi oleh media apapun. Mereka terkesan mengambil mentah-mentah pernyataan dari sumber berita, yang sepertinya (kami sinyalir) bahkan belum membaca buku-buku kami.
Untuk itu, kami, para penulis, menuntut agar distribusi buku, khususnya yang dilewatkan Proyek DAK, segera dibenahi. Jika masih karut-marut seperti sekarang ini, novel-novel dewasa dimasukkan ke perpustakaan untuk anak-anak, saya yakin, semua penulis novel dewasa akan dicap sebagai penulis porno, dan hampir semua buku akan dicap ‘buku cabul.’ Dan, tunggu saja berita dari media: “Hujan Buku Cabul di Perpus SD!”
Wallahu a’lam.
Oleh Afifah Afra (Penulis Novel Syahid Samurai)
Sumber : Sabili.co.id
0 komentar:
Post a Comment