Pasang iklan di sini Rp. 50.000/bulan

3:20 PM
0
Jakarga sedang dilanda demam Jokowi. Di mana-mana orang bicara Jokowi, dari mulai warung kopi pinggir jalan sampai kafe atau pub mewah. “Politik Jokowi telah mengubur prediksi lembaga survei,” kata Lucky, warga Pondok Indah, Jakarta Selatan.

Hasil perhitungan cepat (quick count) sejumlah lembaga survei menunjukkan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) meraup 43,14% suara, disusul pasangan incumbent Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) yang mengantongi 34,15%. Jokowi-Ahok menang di lima zona, hanya kalah di Kepulauan Seribu.

Tapi, semua itu baru hasil quick count, bukan yang resmi. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta baru mengumumkan hasil resmi pada 20 Juli mendatang. Hanya saja, hasil quick count hampir seratus persen mendekati kebenaran.

Itulah sebabnya—meskipun belum resmi–kemenangan Jokowi-Ahok jadi pembicaraan banyak orang di Jakarta. Tak ada yang salah, kalau banyak orang Jakarta demam Jokowi. Hanya saja, siapa yang bakal memimpin Jakarta lima tahun ke depan, inilah yang jadi soal. Sebab, dari hasil quick count, tak satu pun pasangan yang menang mutlak. Ini berarti, pasangan Jokowi-Ahok akan bertarung melawan Foke-Nara pada putaran kedua September mendatang.

Bakal Seru

Banyak analis memprediksi, pertarungan di putaran kedua bakal berjalan seru. Direktur Eksekutif Komunikasi Lembaga Survei Indonesia (LSI), Burhanudin Muhtadi menilai, Jokowi dan Foke sama-sama akan berusaha merebut dukungan di tingkat elitedan tingkat massa akar rumput. Selain itu, ada hal yang akan menghambat pertarungan Foke-Jokowi di putaran kedua, yakni isu primordialisme. "Isu primordial itu sangat kencang. Misal, Jokowi karena variabel primordial etnik, agama, dan sebagainya,” katanya.

Pimpinan Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq, dalam wawancara dengan sebuah media nasional mengungkapkan kekhawatirannya soal hasil Pemilukada DKI pada September nanti, terutama jika Jokowi yang menang. Sebab, bila Wali Kota Solo itu memimpin Jakarta, maka wakilnya di Solo, yakni FX Hadi Rudyatmo, yang nonmuslim akan menggantikannya. “Umat Muslim di Solo belum siap dipimpin nonmuslim,” katanya.

Perasaan serupa dialami kalangan aktivis Muslim di Jakarta. Jika Jokowi memimpin Jakarta, tapi mengalami ‘kecelakaan’ politik di tengah jalan, maka yang akan menggantikannya adalah wakilnya, Ahok, yang nonmuslim. “Kalangan aktivis Islam Jakarta punya perasaan yang sama dengan Solo. Tidak siap menerima pemimpin dari nonmuslim. Saya kira, kita harus berhati-hati dalam memilih pemimpin,” ujar Habib Rizieq.

Tapi, siapa pun nanti yang akan memimpin Jakarta, sejumlah pekerjaan rumah sudah menanti, terutama bidang ekonomi. Maklum, Jakarta adalah pusat ekonomi Indonesia. Di Jakarta berkantor ribuan perusahaan nasional, perusahaan asing, pusat perbankan, penggerak sektor jasa dan perdagangan, hingga penggiat usaha kecil dan menengah.

Magnet Jakarta

Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia (SPI), total dana simpanan di perbankan di Jakarta mencapai Rp 1.407 triliun atau atau 49,53% total nasional.Perputaran uang di Jakarta mencapai hampir Rp 1.900 triliun per bulan. Nilai ini berdasarkan pada lalu lintas uang di dalam Jakarta, dari luar daerah ke Jakarta, serta dari Jakarta ke luar daerah. Singkatnya, nilai itu setara dengan 70% dari total perputaran uang secara nasional.

Pertumbuhan ekonomi Jakarta juga mengalami peningkatan. Kalau pada 2007 tumbuh 6,4%, namun tahun 2011 sudah menjadi 6,7% atau di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional pada 2011.

Dilihat dari produk domestik regional bruto (PDRB), Jakarta menyumbang sekitar 15%-17% dari PDB Indonesia. Kondisi ini menjadikan Jakarta sebagai penyumbang terbesar PDB Indonesia, jauh di atas peran provinsi lain.

Besarnya kekuatan ekonomi Jakarta menjadikan daerah ini sebagai magnet bagi investor untuk menanamkan modal. Setidaknya, nilai investasi asing yang mengalir ke Jakarta pada tahun lalu mencapai US$ 4,82 miliar. Sedangkan untuk investasi dalam negeri, tercatat mampu mencapai Rp 9,26 triliun.Besarnya kekuatan ekonomi Jakarta juga terlihat pada APBD-P 2012 yang mencapai Rp 41 triliun.

Di tengah catatan manis dan kencangnya laju pertumbuhan ekonominya, Jakarta juga memiliki segudang persoalan yang belum menemukan solusi, terutama terkait kesejahteraan penduduk. Masalah kemacetan, kemiskinan dan banjir masih menghantui warga Jakarta setiap tahun.

Banyak Harapan

Itulah sebabnya, banyak harapan ditaruh di pundak pemimpin baru Jakarta nanti. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Suryo Bambang Sulistio, tidak mempersoalkan siapa nanti yang akan memimpin Jakarta. Bagi pengusaha, katanya, yang penting sang gubernur bisa menjalin hubungan erat dengan dunia usaha untuk membangunJakarta.

Sudirman, Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta, punya harapan lain. "Kami ingin gubernur baru yang bisa menjalin komunikasi baik dengan kami," katanya.

Setyo Maharso, Ketua Umum Real Estat Indonesia (REI), menyoroti berbelitnya izin properti. "Sebelum izin keluar harus lewat rapat dengan gubernur," kritik Setyo. Ketua Umum Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), Gunadi Sinduwinata, berharap perbaikan aturan penghambat industri. Misalnya, larangan truk berbobot lebih dari 5,5 ton melewati jalan tol di waktu tertentu. Gunadi juga berharap tambahan dan perbaikan jalan.

Pudjianto, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), berharap perbaikan empat, yaitu perbaikan tata ruang, efektivitas dan efisiensi perizinan (termasuk zonasi usaha), keamanan, dan kepastian hukum. "Industri ritel perlu kejelasan dan kepastian usaha," ujarnya.

Semua tentu saja berharap kepada Gubernur Jakarta yang baru nanti. Siapa? Jokowi-Ahok atau Foke-Nara? Kita tunggu saja September mendatang.

Sumber : inilah.com

0 komentar:

Post a Comment